Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, hiruk pikuk masyarakat di sekitar gang Jarak sudah mulai terasa menyelimuti senja, gadis-gadis berumur 18 tahunan ke atas bergegas mengenakan pakaian yang mengundang birahi dan make up menornya. Lelaki setengah baya mengenakan pakaian batik sudah menata wisma seraya mengobrol dengan para “makelar” yang lainnya ditemani dengan rokok kretek yang tertancap di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah.
Bila ingat
Mungkin kata-kata itu cukup pas untuk menggambarkan keunikankan kontroversi lokalisasi yang berada didaerah Putat jaya
Sampai saat ini Dolly memiliki sekitar 50 an wisma yang bila ditotal omzet setiap bulannya yang didapat bisa mencapai 34 Milyar Rupiah. Tidak heran memang karena selain menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi para turis yang ingin “icip-icip” Dolly juga menjadi salah satu “Pusat jajan dan olah raga” pada malam hari bagi sebagian penduduk kota pahlawan ini.
Kehadiran sebuah tempat prostitusi memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
Dolly awalnya merupakan kompleks pemakaman cina yang dibongkar untuk dijadikan hunian pada tahun 1960-an, Ny. Dolly yang menjadi pelopor tempat pelacuran tersebut mendirikan rumah Bordil pertama di daerah Kupang Timur.
Sekarang tempat prostitusi ini sudah menjadi seperti kompleks pelacuran yang menjadi rahasia umum, besar dan wismanya tersebar dimana-mana (masih di kawasan Dolly tentunya), menjadi sumber pemasukan terbesar bagi PEMKOT Surabaya dan sarana penarik wisatawan serta “mainan” bagi para penggila “jajan”.
Lalu bagaimana masyarakat harus bersikap?